Tentang Kejahatan Terhadap Manusia / Bom Bunuh Diri
18 04 2010
Hukuman Mati, dan Pemberlakuan
Hukum Surut – Amrozi Cs. telah di eksekusi mati oleh pihak kejaksaan.
Pro-kontra hukuman mati telah menimbulkan gejolak khususnya dikalangan
masyarakat dan penegak hukum, karena proses hukum dari penuntutan dengan
menggunakan UU No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
yang diberlakukan surut terhadap Amrozi CS hingga vonis hukuman mati
bertentangan dengan konstitusi, dimana berdasarkan UUD 1945 Pasal 28 I ayat (1)
hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Hak-hak dasar tidak bersifat mutlak.
Bahwa pada dasarnya ketentuan
hak-hak dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 28 I ayat (1) bukanlah ketentuan
hukum yang bersifat mutlak karena pembatasan-pembatasan / pengecualian atas hak
tersebut telah diatur dalam pasal 28 J ayat (2), dimana dalam menjalankan hak
dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud semata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan
ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis.
Bahwa dari ketentuan pasal 28 J ayat
(2) dapat kita pahami bahwa hak-hak dasar sebagaimana diatur dalam pasal 28 I
ayat (1) bukanlah bersifat mutlak, karena secara tegas hak tersebut dapat
dibatasi sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 28 J ayat (2) dimana
pembatasan tersebut harus diatur dalam UU. Bahwa pembatasan-pembatasan tersebut
ternyata selain harus diatur dalam UU juga harus memenuhi unsur frase untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesesui dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat. Frase ini tentu saja
sifatnya sangat subjektif, namun menurut penulis tujuan keadilan tersebut harus
di temukan/diwujudkan oleh hakim dengan memperhatikan moral, nilai-nilai agama,
kemanan dan ketertiban umum dalam masyarakat.
Bahwa vonis hukuman mati yang selama
ini mendapatkan penentangan dengan alasan bertentangan dengan moral karena akan
menimbulkan lingkaran kekerasan yang tidak berujung dan bertentangan dengan
konstitusi ternyata tidak selamanya tepat, karena hukuman mati dan
pelaksanaannya telah diatur oleh Pasal 10 KUHP yang pelaksanaannya dilakukan
berdasarkan UU No. 2 (Pnps) Tahun 1964, sehingga selama pelaksanaannya diatur
berdasarkan undang-undang maka hal tersebut tidak dapat dianggap melanggar
Konstitusi. Kejahatan-kejahatan yang menimbulkan kegoncangan dan kerugian bagi
masyarakat yang dilakukan sedemikian rupa dengan terencana, berdasarkan
sifatnya dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan adalah
tepat jika dijatuhi hukuman mati, yang tentu saja harus dibuktikan terlebih
dahulu apakah bukti-buktinya kuat, tidak ada alasan pemaaf dan pembenar, tidak
ada rasa penyesalan atas tindakan tersebut, dan berdasarkan penilaian hakim
dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan dan ketertiban umum sebagaimana diamanatkan Pasal 28 J ayat (2) UUD
1945 hal tersebut dapat dijatuhkan hukuman mati. Sehingga secara yuridis
sosiologis, fungsi hakim dalam memberikan vonis tidak semata-mata didasari pada
alasan legalistik, pandangan etika, moral, nilai-nilai agama, keamanan dan
ketertiban umum juga menjadi pertimbangan dalam menjatuhkan vonis hukuman mati.
Menurut penulis frase dalam pasal 28
I ayat (1) yang berbunyi tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun bukan
merupakan kaidah hukum berlaku secara mutlak, karena jiika frase tidak bisa
dikurangi dalam keadaan apapun dilaksanakan secara mutlak maka akan menimbulkan
rasa ketidak-adilan yang timpang di tengah masyarakat masyarakat.
Peristiwa hukum Yunani klasik bisa
kita jadikan contoh kasus, dimana karneades seorang Yunani di jaman kuno,
takala kapalnya tenggelam dapat menyelamatkan diri dengan berpegangan pada
sebuah papan yang terapung di air, namun tenyata pada papan tersebut ada orang
lain yang juga sedang berusaha untuk menyelamatkan dirinya dengan berpegangan
dengan papan. Oleh karena papan hanya bisa menampung satu orang lalu karneades
mendorong orang tersebut dari papan, sehingga orang tersebut meninggal. Atas
hal ini penuntut umum pada saat itu membawa perkara ini ke Pengadilan namun
oleh sang Pengadil (hakim) karneades dibebaskan (dimaafkan) walaupun secara
moral hal tersebut tidak dibenarkan.
Jika kita menggunakan ketentuan
Pasal 28 I ayat (1) maka tindakan karneades tidak dibenarkan dan harus dihukum
berat, karena hak untuk hidup yang dimiliki oleh seseorang tidak bisa dikurangi
dalam keadaan apapun. Hal ini tentu saja akan mengugah rasa keadilan yang hidup
di masyarakat.
Demikian hal nya dengan ketentuan
seseorang tidak dapat dituntut atas dasar hukum tidak berlaku surut sebagaimana
diatur dalam Pasal 28 I ayat (1) tidak dapat diberlakukan secara mutlak, hal
ini telah dibatasi dengan ketentuan pasal 28 J ayat (2). Jika kita berpegangan
pada Pasal 1 ayat 1 dan ayat 2 KUHP jelas larangan penuntutan oleh hukum yang
berlaku surut tidak secara mutlak, karena dalam ayat (2) dapat ditafsirkan bila
terjadi perubahan maka akan haruslah dipakai ketekentuan yang ringan. Frase ini
tentu tidak konsisten dengan pemberlakukan hukum yang surut.
Contoh kasus, pada suatu hari A dan
B melakukan tindak pidana dan kemudian ditangkap, oleh karena dalam penangkapan
A mengalami jatuh sakit kemudian proses penyidikan dilakukan terlebih dahulu
pada si B, kemudian si B disidangkan dan akhirnya dihukum. Pada saat si B telah
mendapat vonis A sembuh dan proses penyidikan pun dilakukan. Pada saat proses
penyidikan berlangsung ternyata telah terjadi perubahan undang-undang bahwa
tindak pidana yang dilaksanakan oleh si A dan B ternyata bukan lagi merupakan
tindak pidana, oleh karenanya berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat (2) si A
dibebaskan. Dalam hal ini tentu saja sangat jauh dari nilai-nilai keadilan,
khususnya bagi terpidana B.
Bahwa dalam pandangan penulis
pemberlakukan hukum yang surut pada prinsipnya tidak mutlak apalagi
undang-undang sebelumnya telah mengatur, namun yang terpenting dari
pemberlakuan hukum surut tersebut adalah tindak pidana tersebut demikian
kejamnya sehingga berdasarkan moral, etika, agama dan ketertiban umum tindakan
tersebut sudah sepatutnya di hukum, tanpa memandang undang-undang tersebut
berlaku surut atau tidak. Sehingga titik tolak berlakunya tuntutan pidana
berlaku surut adalah kejahatan itu sendiri.
Oleh karenanya berdasarkan hal
tesebut jelas bahwa hak untuk hidup dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum hukum yang berlaku surut adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun dapat disimpangi, yang tentu saja selama diatur oleh
undang-undang dan tidak bertentangan dengan moral, nilai-nilai agama, keamanan
dan ketertiban umum.